Abraham Samad Minta Jokowi Cabut Laporan terkait Tudingan Ijazah Palsu, FIS: Logika Aneh dan Dangkal
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad minta Presiden ketujuh Republik Indonesia untuk tidak melanjutkan laporan pencemaran nama baik terkait tudingan ijazah palsu terhadapnya.
“Saya mengimbau teman saya Pak Jokowi, supaya mungkin lebih elok, lebih arif, memberi contoh kepada masyarakat supaya tidak melanjutkan laporannya,” ucap Abraham Samad merespons laporan Jokowi ke Polda Metro Jaya terkait tudingan ijazah palsu, Rabu (30/4/2025).
“Supaya orang tetap bangga terhadap sikap Pak Jokowi. Karena apa? Mantan pimpinan yang bisa diingat itu ada legasinya,” lanjutnya.
Permintaan Abraham Samad itu dipandang aneh oleh Formasi Indonesia Satu (FIS), karena dengan tidak melaporkan atau mencabut laporan, Jokowi justru akan “tersandera” selamanya dan membuat pihak-pihak yang anti Jokowi akan bebas selamanya menggoreng isu tersebut.
“Sekilas kedengaran bijak permintaan pak Abraham Samad itu, namun sejatinya itu penuh jebakan, justru menjerumuskan Pak Jokowi,” demikian disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) FIS, Muhammad Syafei, di Seknas FIS Jalan Kutai III Nomor 3, Sumber, Banjarsari, Kota Solo, Minggu (4/5/2025).
Menurutnya, jika pihak-pihak yang menuding ijazah palsu tersebut merasa punya hak dan berlindung di balik kebebasan demokrasi, maka di sisi lain Jokowi juga punya hak, yaitu hak privasi, hak memperoleh kepastian hukum dan juga hak untuk memperoleh perlindungan hukum dari perbuatan dan atau ucapan pihak lain.
“Justru apa yang dilakukan Pak Jokowi itu bisa menjadi contoh, karena melaporkan setelah tidak lagi menjabat sebagai presiden. Bisa saja Pak Jokowi melaporkan saat masih menjabat dulu, saat masih berkuasa, namun justru itu bisa dituding sebagai kriminalisasi dan bisa menjadi preseden buruk. Sekarang, sebagai warga negara biasa beliau menggunakan haknya. Apanya yang salah?” imbuhnya.
Isu atau tudingan ijazah palsu itu, menurut Syafei, sebenarnya isu recehan, argumentasi-argumentasinya juga sangat dangkal.
“Sebagai analogi biar mudah difahami, misalnya STNK saya ya sebagai contoh. Kalau ada orang menuding STNK saya palsu, yang pertama saya perhatikan adalah siapa yang mengatakan itu. Kalau Polantas, misalnya, oh berarti memang dia punya kewenangan dan saya harus menunjukkan STNK saya yang asli, sampai dengan membuktikannya. Tapi jika yang mempertanyakan itu bukan petugas yang memiliki kewenangan, ya saya bakal balik nanya, ‘emang elu siapa?’,” paparnya.