Panglima Jilah: Ksatria Merah dari Borneo
Di tanah rimba Kalimantan, ada satu nama yang selalu bergema ketika masyarakat adat Dayak berjuang mempertahankan hak leluhur mereka yaitu Panglima Jilah, sosok yang dikenal garang sekaligus disegani, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di kawasan Borneo yang meliputi Malaysia dan Brunei.
Lahir dengan nama Agustinus Jilah pada 19 Agustus 1980 di Desa Sambora, Mepawah Hulu, Kabupaten Landak, ia lahir di tahun Kera Mas yaitu sebuah pertanda kelincahan dan kecerdikan yang kelak tercermin dalam perjuangannya. Dalam bahasa Dayak, sebutan “Pengalangok” berarti panglima. Maka masyarakat menyapanya dengan penuh hormat sebagai Pengalangok Jilah.
Tubuhnya yang dihiasi tato khas Dayak adalah simbol keberanian, identitas, sekaligus tekad yang tak tergoyahkan. Walau berpostur sedang, api semangatnya mampu membakar semangat massa dalam setiap perjuangan.
Jejak Perlawanan dan Aksi Nyata
Perjuangan Panglima Jilah bukan sekadar cerita. Ia terjun langsung dalam berbagai konflik yang menimpa masyarakat adat.
• Pembebasan enam peladang di Sintang menjadi salah satu catatan penting yang menunjukkan kepemimpinannya.
• Ia juga berdiri di garis depan saat petani plasma menuntut haknya kepada sebuah perusahaan besar, PT. PI, di Ngabang, Landak. Orasinya kala itu menggelegar, memantik keberanian rakyat untuk bersuara.
Namanya semakin dikenal luas ketika ia ikut mengawal kasus Effendi Buhing, tokoh adat Kinipan, Kalimantan Tengah. Saat Buhing diundang dalam acara Mata Najwa dengan tema “Hukum Suka-Suka”, ia menyebut langsung nama Panglima Jilah sebagai sosok yang berjasa dalam perjuangannya.
Simbol Perlawanan Dayak
Kepedulian Panglima Jilah terhadap adat, tanah leluhur, dan budaya Dayak membuatnya menjadi simbol perlawanan masyarakat Borneo di era modern. Dari aksi massa, perlawanan hukum, hingga orasi-orasinya yang lantang, ia hadir sebagai suara yang menuntut keadilan.