Erik Agusdiansyah, Bagaimana membangun solusi untuk memberikan ruang bagi pelajar menyampaikan aspirasi

Foto: Erik Agus Diansyah
Selasa, 30 Sep 2025  14:57

Palembang, Aliansinews"

Dalam arus digital yang begitu deras, tidak begitu sejalan dengan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Pola pendidikannya yang masih bersifat klasikal menambah peserta didiknya (dalam hal ini pelajar) tersandera di dalam ruang kedap suara, nyaris tidak ada mendengarkannya. Dalam kurun beberapa dekade, ketimbang belajar, pelajar lebih suka viral tawuran. Padahal mereka diberi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama yang sarat dengan nilai-nilai moral dan etika selama bertahun-tahun, namun mereka lebih senang membuat gaduh dan tidak tertib ketimbang berkreasi,Selasa30/9/2025).

Dan lebih uniknya, dalam konteks kekinian, dari beberapa pengalaman demonstrasi atau aksi massa, lebih gampang diingatnya ialah aksi terbaharukan pada akhir Agustus dan awal September 2025, para pelajar-pelajar seluruh Indonesia turun dan turut menyuarakan dengan lantang suara-suara aspirasi yang seakan senada yang selama ini mereka pendam.

Tentu hal ini tercatat dalam rekam pihak Kepolisian, dimana terdata sebanyak 3.337 orang di 20 kota, yang diamankan sejak gelombang demonstrasi yang puncaknya pada tewasnya Sdr. AFFAN, si driver online. Dimana letak kesalahan pelajar kita? Siapa yang salah? Para siswa, orang tua, pendidik, sistem pendidikan kita atau Pemerintah sebagai pengambil kebijakan,Ucap Erik.

"Sistem pendidikan kita membatasi setiap ruang gerak anak, Anak tidak mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan apa saja yang menjadi buah pemikirannya.
Dalam kesempatan ini, ERIK AGUSDIANSYAH melalui Departemen kajian dan bacaan Eksikutif kota Palembang  Liga Mahsiswa Nasional Untuk Demokrasi (Ek-LMND) sekaligus Tokoh Aktivis Pemuda Sumsel mencoba membuka kotak pandora untuk menyingkap fenomena pelajar yang turut turun kejalan, termasuk mendedahnya agar suara-suara yang orisinil yang selama ini berada di ruang kedap bisa tersalurkan. Membuka Kotak Pandora, fenomena turunnya pelajar ke gelanggang demonstrasi dengan ditandai penangkapan ribuan pelajar di atas,Di satu sisi, ada kekhawatiran akan keselamatan dan potensi kerusuhan, disisi lain, muncul pertanyaan tentang bagaimana pelajar bisa menyuarakan aspirasi mereka".

Gagasan ini berargumen bahwa larangan tersebut tidak seharusnya menjadi alasan untuk mematikan kesadaran kritis, melainkan harus menjadi momentum untuk mengalihkannya ke jalur yang lebih konstruktif dan terukur. Mengutip filsuf Brasil, Paulo Freire, “Pendidikan bukanlah mengisi bejana, melainkan menyalakan api." Ungkapan ini relevan, sebab pelajar bukan sekadar objek yang harus diisi dengan pengetahuan, melainkan subjek yang harus dibekali kemampuan untuk berpikir mandiri dan bertindak rasional.
Pendidikan / sekolah sebenarnya tempat menyemaikan warga yang kritis  dan bertanggung jawab, Kepedulian pelajar terhadap situasi sosial atau situasi daerah, situasi nasional, situasi internasional merupakan bagian dari pendewasaan diri.

"Kalau memang mereka diharapkan sebagai warga yang peduli dan kritis, mereka tidak bisa di tunda memang mereka harus di mulai sejak awal, ini suatu program pendidikan yang di susun pemerintah indonesia itu sendiri,Bahkan program pendidikan kepada pelajar ini sudah di terapkan tingkat SD (Sekolah Dasar) dengan dilakukannya pembacaan pancasila di setiap upacara di hari senin di sekolah masing-masing dan pelajaran mengenai Kewarga Negaraan, ini juga merupakan salah satu pendidikan politik meskipun pendekatanya dokmatis bukan kritis, Jadi ketika pemerintah / kementrian pendidikan melarang pelajar partisipasi politik dalam menyuarakan pendapat baik dalam ruang sosial media dan menyampaikan aspirasi di depan umum dalam bentuk demokrasi, bertentangan dengan pendidikan itu sendiri.

Dilema nya hari ini adalah bagaimana kita melindungi dan memberikan kebebasan serta memberi ruang Pelajar untuk menyampaikan aspirasi bukan melarang mereka untuk ikut aksi. Dan bagaimana membuat keterlibatan pelajar dalam demo tidak merusak dan mebahayakan mereka. Disini peran penting orang tua dan sekolah, terutama stakeholder terkait yaitu Dinas Pendidikan, Kementrian Pendidikan untuk membangun kesadaran  kritis, kesadaran politik, dan bertanggung jawab, ini membuat menakutkan para penguasa dan oligarki dari pada pelajar melakukan aksi-aksi anarkis.

Penawaran Solusi :
Pertama dengan Mengubah larangan Menjadi aksi terukur. Fokusnya harus bergeser pada bagaimana mengarahkan energi kritis pelajar kejalur yang lebih konstruktif.Peran Orang tua, sekolah dan pemaku kepentingan seperti dinas pendidikan, kementrian pendidikan dan bidang yang terkait lainya. Mereka harus bekerja sama untuk membangun kesadaran kritis dan politik yang bertanggung jawa.

Berita Terkait