Isu Ijazah Palsu Jokowi, FIS: Propaganda Jahat a la Nazi

Foto: Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Dewan Pembina Formasi Indonesia Satu Airlangga Hartarto
Rabu, 16 Apr 2025  12:23

Formasi Indonesia Satu (FIS) memandang terus dihembuskannya isu ijazah palsu Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi), baik melalui berbagai media maupun gugatan secara hokum, sebagai propaganda jahat a la Nazi.

“Kebohongan yang disampaikan berulang-ulang akan dianggap sebagai kebenaran,” demikian disampaikan Deputi Bidang Hukum dan Perundangan FIS, M. Ghozali Aditya Putra, SH, di Seknas FIS, Jalan Kutai III Nomor 3, Sumber, Banjarsari, Kota Solo, tentang propaganda dimaksud, Selasa (15/4/2025).

Menurut Aditya, dari sudut pandang neurosains maupun psikologi, otak manusia cenderung menyukai informasi yang sesuai keinginannya, ketimbang informasi yang bermuatan kebenaran atau memiliki dasar-dasar argumen serta data-data yang valid.

“Kecenderungan otak manusia seperti itu lah yang menjadi lahan subur propaganda tersebut. Tidak penting informasinya bermutu atau tidak, valid atau tidak, masuk akal atau tidak, asal sesuai keinginan akan mampu memuaskan keinginan mereka dan cepat vira,” ungkap Aditya.

Di Indonesia ini kelompok yang anti atau tidak suka terhadap Jokowi sebenarnya minoritas, namun cenderung sudah fanatik buta atau lebih didominasi sisi emosionalnya ketimbang rasionalitasnya.

“Orang nggak harus pinter-pinter banget kok untuk faham bahwa isu ijazah Pak Jokowi itu sangat nggak masuk akal, namun kalau orang sudah kehilangan rasionalitasnya ya lain soal,” imbuh Aditya.

Menurutnya, orang yang sudah kehilangan rasionalitasnya cenderung membabi buta dan urat malunya sudah putus.

Leibh lanjut Aditya memetakan kelompok-kelompok masyarakat yang anti Jokowi, setidaknya ada empat, yaitu anggota atau simpatisan ormas radikal, barisan sakiat hati atau pihak yang tidak terakomoasi kepentingannya saat Jokowi menjadi presiden, pihak yang kalah dalam pilpres 2024 dan pihak yang menjadi proxy asing.

“Di masa pemerintahan Pak Jokowi dua ormas radikal dibekukan atau dibubarkan, sehingga ruang gerak kelompok radikalpun semakin menyempit. Lalu barisan sakit hati, ya kita tahu di antaranya mereka yang pernah mendapat posisi kemudian dicopot di masa Pak Jokowi. Pihak yang kalah pilpres saya kira nggak perlu dijelaskan lebih jauh lagi lah. Berikutnya pihak yang menjadi proxy asing, di mana kita tahu semasa pemerintahan Pak Jokowi Blok Rokan, Freeport kembali ke tangan Indonesia, belum lagi program hilirisasi yang sangat mengguncang kepentingan asing,” papar Aditya.

Berita Terkait