Jadi Polemik di Sragen, Perangkat Desa yang Kelola Tanah Bengkok Bisa Dipidanakan. Sejumlah Perwakilan APPD Datangi DPRD

 
Senin, 14 Feb 2022  11:38

Aliansi Pemuda Peduli Desa (APPD) Kabupaten Sragen saat menyerahkan berkas kepada DPRD Sragen. Source times indonesia/Foto: dok/ist

SRAGEN – Pengelolaan tanah eks Bengkok yang masih digarap perangkat desa berpotensi menjadi dugaan tindak pidana Korupsi (Tipikor) masal. Pasalnya persoalan tanah eks bengkok tidak dikelola langsung perangkat desa sejak 2010 lalu.

Sejumlah Perwakilan Aliansi Pemuda Peduli Desa (APPD) Kabupaten Sragen, Jawa Tengah dipimpin Muhammad Yusuf Nur Syarifudin menemui anggota DPRD Kabupaten Sragen.

Mereka mempertanyakan dasar aturan Paguyuban Perangkat Desa (Praja) kabupaten Sragen yang ngotot eks tanah bengkok tidak dilelang dan melekat menjadi hak mereka. Praja mempertahankan tanah Eks Bengkok untuk terus dikelola Perangkat Desa. Karena seharusnya tanah eks Bengkok yang dipertahankan Praja tersebut semestinya bisa dioptimalkan untuk pemerataan ekonomi di desa.

Juru bicara APPD Sragen, Handoko Wahyu menuturkan ada kerugian negara dan masyarakat jika eks tanah bengkok tidak dijalankan sesuai regulasi semestinya. Kebijakan perda, menjual tanah kas desa melalui perangkat desa merupakan kesalahan besar. Karena sesuai Perda nomor 2 tahun 2010 sudah tidak ada bengkok, adanya kas desa. Artinya mekanisme harus melalui tahap lelang.

Namun tidak dijalankan oleh pemerintah daerah. Bahkan anggota dewan yang pernah menjabat sebagai kepala desa (Kades) yang semestinya mengetahui hal tersebut dinilai melakukan pembiaran. Dia menuturkan dalam Perda tersebut tanah eks bengkok harus dikembalikan sebagai sumber pendapatan desa paling lambat November 2010.

”Sejak 2010 regulasi harusnya sudah dikembalikan. Pada 2017 lebih diperjelas lewat Perbup nomor 76 tahun 2017,” bebernya.

Saat ini, mayoritas desa sudah memasukkan tanah eks Bengkok pada 2022 ini ke siskeudes agar tertib administrasi. Namun pelaksanaan lelangnya baru dilakukan 2023 mendatang. Hal ini juga menghadirkan dilema, lantaran ketidakjelasan nilai harga yang dicantumkan.

”Kas desa eks bengkok dimasukkan dengan nilai misalnya Rp 20 juta. Masalahnya nilai tersebut didapat dari mana? Misal ada lelang dengan penawaran tertinggi Rp 20 juta dan ada berita acara, tapi tidak ada lelang jadi sumber nilainya darimana? Ini bisa jadi bencana karena memanipulasi keuangan negara,” terangnya.

Berita Terkait