Butuh Persatuan dan Kekompakan Menuju Indonesia Maju, Rekonsiliasi Pasca Pilpres Diharapkan Terwujud
Indonesia yang masih berstatus negara berkembang dan demokrasinya relatif masih sangat muda tidak dapat disamakan dengan negara-negara maju yang sistemnya sudah mapan dan demokrasinya juga sudah matang.
Tidak bisa disamakan dalam beberapa hal salah satunya adalah soal koalisi dan oposisi. Oposisi memang dibutuhkan sebagai 'check and balance', namun oposisi di negara berkembang dengan kesadaran demokrasi yang relatif belum matang jika terlalu kuat justru bisa kontra produktif.
Demikian disampaikan Ketua Harian Perjuangan Rakyat Nusantara (Pernusa) Andi Hakim saat dimintai pendapat "what's next" pasca pilpres yang berdasarkan quick count (QC) berbagai lembaga survei yang kredibel dimenangkan oleh Prabowo-Gibran sekali putaran.
"Inilah kekeliruan kebanyakan pakar atau aktifis, selalu memakai tolok ukur negara-negara maju untuk menilai demokrasi di Indonesia. Kalau kita mau 'flash back' sejenak, negara-negara di kawasan Asia khususnya di Asia Tenggara yang berkembang pesat justru saat dipimpin secara otoriter atau semi otoriter di mana pemilu hanya formalitas belaka. Sebut saja Filipina di jaman Ferdinand Marcos, Malaysia di masa Mahathir Mohamad, Singapura, bahkan Indonesia di jaman orde baru," paparnya.
Negara-negara berkembang yang menggunakan demokrasi a la Barat seperti India, Pakistan, Bangladesh dan negara-negara Amerika Latin justru lebih sering diwarnai gonjang-ganjing, dan terjebak dalam situasi yang sulit.
"Bukan berarti saya ingin mengajak kembali ke sistem otoriter ya, tapi dalam konteks oposisi yang kuat itu bagus dan ideal itu untuk negara maju, belum tentu bagus untuk negara berkembang yang baru bercita-cita menjadi negara maju seperti Indonesia," jelas Andi Hakim.
Praktisi hukum senior itu menekankan, oposisi yang terlalu kuat di Indonesia hanya akan menghasilkan keberisikan yang luar biasa, program dan kebijakan pemerintah akan lebih banyak ditentang sampai dengan dijegal, dan ujung-ujungnya kompromi yang konotasinya transaksional.
"Nah, di situlah poinnya saya nenggarisbawahi pernyataan Pak Prabowo bahwa beliau akan merangkul pihak-pihak lawan. Itu artinya beliau menginginkan koaliasi besar, dan itu sejalan dengan Pak Jokowi yang sangat kelihatan menginginkan koalisi besar untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat," imbuh Ketua Harian Pernusa itu.
Untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maju menuju Indonesia Emas 2045, sangat dibutuhkan persatuan dan kekompakan yang antara lain berupa koalisi besar.