Diduga Hedonis, Kabag TU Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Selatan, Disinyalir Hindari LHKPN

 
Selasa, 14 Okt 2025  19:59

Sumsel. AliansiNews.id. 

Gaya hidup seorang pejabat publik kembali menjadi sorotan. Kali ini, Kabag TU Kementrian Agraria dan Tata Ruang Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Selatan, menjadi pusat perhatian karena diduga menunjukkan gaya hidup hedonis yang mencolok, bahkan melebihi kepala daerah.

Secara struktural dan hierarki, jabatan Kepala Dinas berada di bawah Kepala Daerah. Berdasarkan data remunerasi ASN, seorang Kepala Dinas golongan IV C memiliki gaji pokok sekitar Rp 3.571.900 hingga Rp 5.866.400 (PP Nomor 15 Tahun 2019).  Ditambah tunjangan kinerja (tukin) di lingkungan Pemprov Sumsel (Pergub Nomor 10 Tahun 2022), penghasilannya bisa mencapai Rp 23 juta hingga Rp 37 juta per bulan, tergantung kelas jabatan

Informasi ini di peroleh berdasarkan laporan LHKPN yang diduga tidak bersesuaian, publik mempertanyakan kesesuaian penghasilan tersebut dengan kepemilikan mobil mewah yang harganya ditaksir mencapai ratusan juta rupiah, kondisi ini dinilai tidak masuk akal.  Meskipun gaji dan tukin tergolong tinggi, namun tetap tidak sebanding dengan gaya hidup mewah yang ditunjukkan. Pendaftaran mobil atas namanya juga menimbulkan dugaan upaya menghindari pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Praktik seperti ini mengaburkan transparansi dan akuntabilitas harta kekayaan pejabat publik.  Masyarakat pun mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turun tangan melakukan klarifikasi dan pemeriksaan.

Fenomena gaya hidup mewah yang tidak sebanding dengan profil penghasilan ASN ini bukan hanya masalah etika, tetapi juga berpotensi mengarah pada tindak pidana.  KPK dan LHKPN diharapkan melakukan pemeriksaan mendalam, termasuk terhadap aset-aset atas nama keluarga.

Memang, menempatkan aset atas nama keluarga bukanlah pelanggaran jika harta tersebut benar-benar milik keluarga. Namun, jika harta tersebut merupakan hasil penghasilan pejabat yang kemudian ‘dialihkan’ untuk menghindari pelaporan LHKPN, hal itu dapat dikategorikan sebagai upaya menghindar dari transparansi publik dan berpotensi pidana.

Gaya hidup hedonis pejabat publik ini mencederai kepercayaan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih menghadapi banyak tantangan, seperti infrastruktur rusak dan rendahnya kesejahteraan tenaga pendidikan honorer, ditambah lagi dengan kondisi keuangan daerah yang kurang baik.

Alih-alih menjadi panutan, pejabat yang berperilaku mewah justru menampilkan kontras antara moral pelayanan dan realitas kemewahan yang dimilikinya. Publik berharap KPK dan LHKPN menindaklanjuti kasus ini dan tidak lagi menoleransi gaya hidup pejabat yang tidak mencerminkan semangat “melayani, bukan dilayani”. (Yano)

Berita Terkait